Minggu, 16 Januari 2011

MENGENAL AUTISME DAN TERAPINYA

Autisme berasal dari bahasa Yunani auto yang berarti “sendiri”, anak Autisme seolah-olah hidup di dunianya sendiri, mereka menghindari / tidak merespon terhadap kontak sosial dan lebih senang menyendiri. Walaupun penderita Autisme sudah ada sejak dulu, istilah Autisme baru diperkenalkan oleh Lee Kenner pada tahun 1943.

Pengertian Autisme
Autisme adalah gangguan dalam perkembangan neurologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain di sekitarnya secara wajar (Sutadi, 2002). Sedangkan menurut Sasanti (2004), Autisme adalah sekumpulan gejala klinis atau sindrom yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat bervariasi dan berkaitan satu sama lain dan unik karena tidak sama untuk masing-masing kasus dan secara klinis sering ditemukan gejala yang bercampur baur atau tumpang tindih dengan gejala-gejala dari beberapa gangguan perkembangan yang lain maupun gangguan spesifik lainnya.

Gangguan Perkembangan pada Anak Autisme
Menurut Tjhin Wiguna (2004) anak Autisme mengalami gangguan yang menetap pada pola interaksi sosial, komunikasi yang menyimpang dan pola tingkah laku yang terbatas dan berulang (stereotipik) dan pada umumnya anak dengan gangguan Autisme ini mempunyai fungsi dibawah rata-rata. Adapun menurut Leo Kanner (1943), penyebab gangguan Autisme adalah adanya pengaruh psikogenik sebagai penybab terjadinya gangguan Autisme seperti orangtua yang emosional, kaku, dan obsesif dalam mengasuh anak mereka.

Anak Autis mengalami gangguan perkembangan yang biasanya disebut dengan istilah “Trias Autisme” yang meliputi:

a. Gangguan pada Kemampuan Interaksi Sosial, yang ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut:

o Kontak mata kurang, anak Autisme bila diajak bicara tidak mau menatap muka lawan bicara.
o Tidak selalu menegok bila dipanggil lebih suka bermain sendiri, anak Autisme sulit berinteraksi dengan teman sebayanya dalam bermain.
o Ekspresi wajahnya kurang hidup
o Sering menolak bila dipeluk
o Tidak tertarik pada mainan
o Bermain dengan benda-benda yang bukan mainan anak-anak
o Kadang-kadang anak ini suka melakukan ekspresi: menangis, tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab.



b. Gangguan pada Kemampuan Berkomunikasi dan Berbahasa
Dalam perkembangan berbahasa anak Autisme biasanya menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:

o Kemampuan bicaranya terlihat terlambat dibanding anak seusianya
o Bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain
o Bila anak bisa bicara sering tidak mengerti arti kata yang diucapkannya
o Sulit bila diajak berdialog
o Echolalia (meniru perkataan orang lain) atau membeo
o Bila anak ingin sesuatu dia akan menarik tangan orang lain yang ada didekatnya dan diarahkan pada apa yang diinginkan
o Kemampuan bahasa isyaratnya tidak berkembang
o Tata bahasanya kacau

c. Gangguan pada Kemampuan Perilaku dan Minat
Perilaku merupakan segala sesuatu yang diekspresikan melalui perkataan dan perbuatan dan semuannya itu dapat kita lihat, rasakan, dan kita dengar baik olah diri sendiri atau orang lain. Banyak perilaku Autisme yang berbeda dari perilaku normal, disatu sisi ada perilaku yang berlebihan, disisi lain ada perilaku yang kurang, bahkan pada tahap yang hampir tidak ada.

Terapi Autisme
Terapi Autisme menurut Tjhin Wiguna (2002) adalah penatalaksanaan anak dengan gangguan Autisme secara terstruktur dan berkesinambungan untuk mengurangi masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan anak sesuai atau peling sedikit mendekati anan seusianya dan bersifat multi disiplin yang meliputi: (1) terapi perilaku berupa ABA (Applied Behaviour Analysis); (2) terapi biomedik (medikamentosa); (3) terapi tambahan lain yaitu, terapi wicara, terapi sensori integration, terapi musik, terapi diet, dll. Adapun tujuan dari terapi Autisme adalah mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar serta meningkatkan perkembangan anak agar sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya.

a. Terapi Perilaku
Terapi perilaku didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah perilaku yang tidak diinginkan menjadi perilaku yang diinginkan. Pada umumnya terapi perilaku ini ditujukan untuk dua hal yaitu : (1) mengurangi atau menghilangkan perilaku yang berlabihan (mengamuk, agresif, melukai diri sendiri, teriak-teriak, hiperaktif tanpa tujuan dan perilaku lain yang tidak bermanfaat); (2) akan memunculkan perilaku yang masih berkekurangan yaitu: belum bisa bicara, belum merespon bila diajak bicara, kontak mata yang kurang, tidak punya inisiatif, tidak bisa berinteraksi wajar dengan lingkungannya/kurang mampu bersosialisasi. (Sasanti, 2004;2)

Dibeberapa tempat terapi di Indonesia, umumnya dilakukan terapi perilaku yang menggabungkan berbagai metode menjadi suatu ramuan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kasus anak. Yang umum dipakai sebagai dasarnya adalah ABA yang dikembangkan oleh Dr. Ivar Lovaas dan dilaksanakan dengan cara DDT (Discrete Trial Training). Kurikulum dibuat secara sistematis oleh Catherine Maurice yang ditulis dalam buku Bahavioural Intervention for Young Children with Autism. A Manual for Parents and Professionals. Pro-Ed, Austin-Texas, 1996.

Ada beberapa tahapan dalam kurikulum tersebut diatas yaitu, tahap awal, tahap menengah dan tahap akhir. Tiap-tiap tahap terdiri dari enam kelompok kemampuan, yaitu: mengikuti tugas/pekerjaan, imitasi/meniru, bahasa reseptif, bahasa eksprisif, pre-akademik, dan bantu diri. Untuk tahap mahir dimasukkan kurikulum bahasa abstrak, akademik, serta kemampuan sosialisasi kesiapan masuk sekolah.

b. Terapi Biomedik
Berdasarkan temuan dari berbagai penelitian dalam bidang biologis, serta bukti-bukti yang didapat dari pemeriksaan laboratorium, maka terjadi perubahan paradigma dalam penanganan gangguan sprktrum Autisme. Paham yang sudah banyak diakui saat ini adalah bahwa GSA adalah sindrom yang komplek yang didasari atas adanya gangguan fisiologis serta biokimia yang mempengaruhi hasil akhir dalam gangguan kognitif, perilaku dan emosionalnya, maka gangguan biologisnya yang harus dibenahi. Ini merupakan filosofi dari terapi biomedik (Sasanti, 2004:3).

Terapi biomedik meliputi: (1) Pemberian obat-obatan (sesuai dengan gejala-gejala klinis/hasil laboratorium yang ditemukan). Juga bisa diberikan: psikotropika, antibiotik, anti jamur, anti virus, anti parasit; (2) Pengaturan diet tanpa pengawet, tanpa pewarna buatan, pengaturan makanan dengan cara eliminasi sementara dan rotasi, dll;(3) Pemberian Enzim pencernaan; (4) Pemberian Vitamin dan Mineral; (5) Asupan lain, misalnya asam lemak esensial, asam amino, antioksidan, probiotik, dll; (6) Perbaikan fungsi imunologi, sesuai dengan gangguannya; (7) Chelation (Pengeluaran logam berat).

c. Terapi Tambahan Lain
Termasuk disini adalah terapi sensori integrasi, terapi musik, terapi wicara, terapi okupasi, terapi seni, terapi relaksasi, akupuntur, dll. Pemilihan jenis terapi tambahan yang diperlukan untuk masing-masing anak tentu harus dipertimbangkan dengan seksama melihat dari gejala klinis yang menonjol serta target yang ingin dicapai.


IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, para guru di sekolaah reguler/sekolah umum perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang anak dengan kebutuhan khusus atau sering juga disebut anak berkebutuhan khusus. Dengan mengetahui siapa yang disebut anak dengan kebutuhan khusus serta karakteristiknya, maka diharapkan guru mampu melakukan identifikasi terhadap mereka, baik yang sudah menjadi terdaftar sebagai peserta didik pada sekolah yang bersangkutan maupun yang belum masuk sekolah yang ada atau bertempat tinggal di sekitar sekolah. Dengan identifikasi yang tepat guru dapat memberikan bantuan pelayanan yang sesuai untuk mendukung dan menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Anak dengan kebutuhan khusus perlu dikenal dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-latihan therapeutic, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk membantu mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.
Dalam rangka mengidentifiksi (menemukan) anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai jenis dan gradasi (tingkat) kelainan anak, diantaranya adalah kelainan fisik, mental intelektual, social, emosional. Di luar jenis kelainan tersebut terdapat anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau sering disebut sebagai anak yang memiliki kecerdasan dan bakat luar biasa. Masing-masing memiliki ciri dan tanda-tanda khusus atau karakteristik yang dapat digunakan oleh guru untuk menandai dalam rangka identifikasi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus.
Buku Identifikasi Anak yang disertai Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ALB) ini disusun untuk membantu guru dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Alat ini daftar peryataan yang berisi gejala-gejala yang nampak pada anak untuk setiap jenis kelainan. Dengan mengamati gejala-gejala tersebut jika guru menemukan anak yang memiliki tanda-tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala tertulis dalam alat/instrumen ini, dengan mudah guru dapat menandainya, dan jika secara kualitatif memenuhi standar miimal yang ditetapkan, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak dengan kebutuhan khusus. Dengan alat identifikasi ini, secara sederhana dapat disimpulkan apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Tentu saja alat ini sifatnya masih sederhana, baru sebatas melihat gejala-gejala fisik yang nampak. Sedangkan untuk mendiagnosis yang sesungguhnya secara akurat, dibutuhkan tenaga profesional yang berwenang untuk itu, seperti dokter, psikolog, orthopedagog, dan sebagainya. Meskipun demikian jika sekolah tidak tersedia tenaga profesional dimaksud, dengan alat identifikasi ini, asal dilaksanakan dengan cermat dan hati-hati, sudah cukup untuk menetapkan seseorang berindikasi memerlukan layanan pendidikan khusus atau tidak.
Alat identifikasi ini dapat digunakan oleh orang-orang yang dekat (sering bergaul/berhubungan) dengan anak – seperti guru, orang tua, pengasuh – untuk menjaring kelompok anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar, baik yang sudah bersekolah maupun yang belum bersekolah atau yang sudah drop-out.


B. Tujuan Penulisan Buku
Setelah selesai membaca buku Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus ini, diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan) mampu mengidentifikasi apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dan mampu merencanakan tindak lanjutnya.

II. ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN IDENTIFIKASINYA
Untuk mengidentifikasi apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, perlu terlebih dahulu dirumuskan pengertian anak dengan kebutuhan khusus, karakteristik (ciri-ciri) anak dengan kebutuhan khusus, baru kemudian dirumuskan hal-hal yang berkaitan dengan identifikasi.

A. Pengertian Anak dengan kebutuhan khusus
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan dikelompokkan menjadi 9 jenis. Berdasarkan berbagai studi, ke 9 jenis ini paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar 9 jenis tersebut masih dijumpai di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain. Secara singkat masing-masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut :

1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
5. Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.
6. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi;
Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

B. Karakteristik Anak dengan kebutuhan khusus
Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak dengan kebutuhan khusus.
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
a. a. Tidak mampu melihat
b. b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
g. Peradangan hebat pada kedua bola mata,
h. Mata bergoyang terus.
Nilai standar : 4 (di luar a dan b), maksudnya, jika a dan b terpenuhi, maka tidak perlu menghitung urutan berikutnya.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
a. Tidak mampu mendengar,
b. Terlambat perkembangan bahasa
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
e. Ucapan kata tidak jelas
f. Kualitas suara aneh/monoton,
g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
h. Banyak perhatian terhadap getaran,
i. Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga
Nilai Standar : 6 (di luar a), maksudnya jika a terpenuhi, maka berikutnya tidak perlu dihiung.
3. Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
a. Anggauta gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
c. Terdapat bagian anggauta gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
d. Terdapat cacat pada alat gerak,
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
g. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai Standar : 5
4. Anak Berbakat/ memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
a. Membaca pada usia lebih muda,
b. Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
c. Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
d. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
e. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
f. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
g. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
h. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
i. Dapat memberikan banyak gagasan
j. Luwes dalam berpikir
k. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
l. Mempunyai pengamatan yang tajam,
m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati,
n. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
o. Senang mencoba hal-hal baru,
p. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
q. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah,
r. Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
s. Berperilaku terarah pada tujuan,
t. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
u. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
v. Mempunyai daya ingat yang kuat,
w. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
x. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
y. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Nilai Standar : 18
5. Tunagrahita
a. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar,
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
c. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
d. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
e. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
f. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)
Nilai Standar : 6
6. Anak Lamban Belajar
a. Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6),
b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
c. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
d. Pernah tidak naik kelas.
Nilai Standar : 4
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
• Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan
Nilai standarnya 3
• Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
Nilai standarnya 4.
• Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
a. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, = b. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan, c. Sering salah membilang dengan urut, d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya, e. Sulit membedakan bangun-bangun geometri. Nilai standarnya 4. 8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi a. Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain, b. Tidak lancar dalam berbicaraa/mengemukakan ide, c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, d. Kalau berbicara sering gagap/gugup, e. Suaranya parau/aneh, f. Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel, g. Organ bicaranya tidak normal/sumbing. Nilai standarnya 5. 9. Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku). a. Bersikap membangkang, b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah c. Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu d. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum. Nilai standarnya 4. C. Identifikasi Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Dalam buku ini istilah identifkasi anak dengan kebutuhan khusus dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal). Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui, apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk normal atau mengalami kelainan/penyimpangan. Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah anak tergolong: (1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan; (2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran; (3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan); (4) Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa; (5) Tunagrahita; (6) Anak lamban belajar; (7) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia); (8) Anak yang mengalami gangguan komunikasi; dan (9) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain. Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan. D. Tujuan Identifikasi Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar. 1. Penjaringan (screening) Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AI AKB) terlampir. Pada tahap ini identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong anak dengan kebutuhan khusus. Dengan AI ALB guru, orang tua, maupun tenaga professional terkait, dapat melakukan kegiatan ini secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut. 2. Pengalihtanganan (referral) Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru. Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor. 3. Klasifikasi Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus.Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan/atau memberi therapy, melainkan sekedar meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus. Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler. 4. Perencanaan pembelajaran Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi. 5. Pemantauan kemajuan belajar Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang kita susun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang kita berikan sesuai atau tidak, dan seterusnya. Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait. III. PELAKSANAAN IDENTIFIKASI A. Sasaran Identifikasi Secara umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah: 1. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah; 2. Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah; 3. Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong anak dengan kebutuhan khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau menerimanya; 4. Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik. B. Petugas Identifikasi Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh: 1. Guru kelas; 2. Orang tua anak; dan/atau 3. Tenaga professional terkait. C. Pelaksanaan Identifikasi Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah, maka sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT, RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya. Untuk anak-aak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menghimpun data tentang anak Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas (berdasar gejala yang nampak pada siswa) dengan menggunakan Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ALB). Lihat Format 3 terlampir. 2. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan anak-anak yang tergolong anak dengan kebutuhan khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yaang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri dan standar nilai yang telah ditetapkan. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar nama-nama anak yang berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang disediakan seperti terlampir (Lihat Format 4). Sedangkan untuk anak-anak yang tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar khusus tersebut. 3. Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya. 4. Menyelenggarakan pertemuan kasus (case conference) Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data anak dengan kebutuhan khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4) tenaga professional terkait, jika tersedia dan dimungkinkan; (5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan. Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta penanggulangannya. 5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti terlampir (lihat Format 5) D. ALAT IDENTIFIKASI Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus, antara lain sebagai berikut : 1. Form 1 : Informasi riwayat perkembangan anak 2. Form 2 : informasi/ data orangtua anak/wali siswa 3. Form 3 : informasi profil kelainan anak (AI-ALB) Dari ketiga informasi tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut. 1. Informasi riwayat perkembangan anak Informasi riwayat perkembangan anak adalah informasi mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga tahun-tahun terakhir sebelum masuk SD/MI.. Informasi ini penting sebab dengan mengetahui latar belakang perkembangan anak, mungkin kita dapat menemukan sumber penyebab problema belajar. Informasi mengenai perkembangan anak sangat penting bagi guru untuk mempertimbangkan kebijakan program pembelajaran yang akan diberikan kepada anak. Informasi perkembangan anak biasanya mencakup identitas anak, riwayat masa kehamilan dan kelahiran, perkembangan masa balita, perkembangan fisik, perkembangan sosial, dan perkembangan pendidikan. Riwayat masa kehamilan dan kelahiran meliputi perkembangan masa kehamilan, penyakit yang diderita ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelahiran, penolong persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan bayi, panjang badan bayi, dan tanda-tanda kelainan pada bayi. Perkembangan masa balita sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai lama menyusu ibunya, usia akhir minum susu kaleng, kegiatan imunisasi, penimbangan, kualitas dan kuantitas makanan pada masa balita, kesulitan makan yang dialami, dan sebagainya. Perkembangan fisik diperlukan terutama data mengenai kapan anak mulai dapat merangkak, berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara dengan kalimat lengkap, kesulitan gerakan yang dialami, status gizi balita, dan riwayat kesehatan. Perkembangan sosial terutama berkaitan dengan hubungan dengan saudara, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang tua dan guru, hobi anak, dan minat khusus. Perkembangan pendidikan meliputi informasi mengenai kapan masuk TK, berapa lama pendidikan di TK, kapan masuk SD, apa kesulitan selama di TK, apa kesulitan selama di SD, apakah pernah tinggal kelas, pelayanan khusus yang pernah diberikan, prestasi belajar tiap caturwulan atau semester, mata pelajaran yang dirasa paling sulit, dan mata pelajaran yang paling disenangi. 2. Data orang tua/wali siswa Selain data mengenai anak, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan orang tua/wali siswa yang bersangkutan. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan belajar anak. Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua terhadap anak, serta pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak. Data orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali, hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan tanggapan orang tua/ keluarga terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, agama, status, pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal. Hubungan orang tua-anak menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara orang tua dan anak. Misalnya apakah kedua orang tua satu rumah atau tidak, demikian juga dengan anak. Apakah diasuh salah satu orang tua, pembantu, atau keluarga lain. Semua kondisi tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar anak. Mengenai data keadaan sosial ekonomi diperlukan agar sekolah dapat memperhitungkan kemampuan orang tua dalam pendidikan anaknya. Data sosial ekonomi dapat mencakup informasi mengenai jabatan formal maupun non formal ayah dan ibu, serta besarnya penghasilan rata-rata per bulan. Sedangkan mengenai tanggapan orang tua yang perlu diungkapkan antara lain persepsi orang tua terhadap anak, kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang bersangkutan, harapan orang tua dan bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak yang bersangkutan. 3. Informasi mengenai profil kelainan anak (AI – ALB) Informasi mengenai gangguan/kelainan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki gangguan/kelainan penyerta. Survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa 71,8% mengalami disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31% gangguan komunikasi, 7,9% cacat / kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6% gangguan penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran (Balitbang, 1996). Tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada siswa (jika ada) perlu diketahui guru. Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya problema belajar. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap penerimaan anak terhadap kondisi tersebut. Contoh format isian untuk identifikasi anak berkelainan yang dapat digunakan oleh sekolah. E. TINDAK LANJUT KEGIATAN IDENTIFIKASI Sebagai tindak lanjut dari kegiatan identifikasi anak berkelainan untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: 1. Perencaanaan pembelajaran dan pengorganisasian siswa Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menetapkan bidang-bidang atau aspek problema belajar yang akan ditangani: Apakah seluruh mata pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya bagian tertentu dari suatu mata pelajaran. b. Menetapkan pendekatan pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah bentuknya berupa pelajaran remedial, penambahan latihan-latihan di dalam kelas atau luar kelas, pendekatan kooperatif, atau kompetitif, dan lain- lain. c. Menyusun program pembelajaran individual. 2. Pelaksanaan pembelajaran Pada tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan dalam kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel. 3. Pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi Untuk mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar anak. Jika anak mengalami kemajuan dalam belajar, pendekatan yang dipilih guru perlu terus dimantapkan, tetapi jika tidak terdapat kemajuan, perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai isi dan pendekatan program, maupun motivasi anak yang bersangkutan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya semua problema belajar anak, secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak naik kelas atau bahkan putus sekolah. Instrumen Identifikasi Siswa Berkebutuhan Khusus ALAT IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (AI ABK) _____________________________________________________________________________ PENGANTAR Anak dengan kebutuhan khusus perlu dikenal dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, oleh karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-latihan therapeutic, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk membantu mereka mengurangi keterbatasannyadalam hidup bermasyarakat. Dalam rangka mengidentifiksi (menemukan) anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai jenis dan gradasi (tingkat) kelainan organis maupun fungsional anak melalui gejala-gejala yang dapat diamati sehari-hari. Sehubungan dengan hal itu, maka disiapkan suatu Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ABK) berbentuk kalimat pernyataan tentang gejala-gejala yang nampak pada anak sehari-hari. Dengan alat identifikasi ini, secara sederhana dapat disimpulkan apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Alat identifikasi ini dapat digunakan oleh orang-orang yang dekat (sering bergaul/berhubungan) dengan anak, seperti guru, orang tua, pengasuh, untuk menjaring kelompok anak usia pra sekolah dan usia sekolah dasar, baik yang sudah bersekolah maupun yang belum bersekolah atau yang sudah drop out. PETUNJUK PENGISIAN 1. Gunakan Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ABK) ini untuk seluruh siswa di kelas; 2. Usahakan untuk melihat gejala-gejala yang nampak pada setiap anak dengan seksama, mungkin memerlukan waktu beberapa hari, jangan tergesa-gesa; 3. Agar gejala mudah dikenali, pada beberapa pernyataanl, anak dapat terlebih dahulu diberi tugas tertentu baru kemudian diamati pada saat mereka mengerjakan tugas tersebut; 4. Tiap gejala yang ditemukan pada setiap anak diberi nilai 1 (satu); sedangkan yang tidak ditemukan diberi nilai 0 (nol); 5. Setelah diberi nilai keseluruhan, jumlahkan nilai yang diperoleh pada setiap jenis kelainan; 6. Setelah diperoleh jumlah nilai dari setiap jenis kelainan, kemudian bandingkan hasilnya dengan nilai standar setiap jenis kelainan yang tertera pada AI ABK ini; 7. Bila nilai yang diperoleh sama dengan atau lebih tinggi dari nilai standar yang tertera pada setiap jenis kelainan, maka anak tersebut dapat dikategorikan tergolong anak yang mengalami suatu jenis kelainan tertentu; 8. Terdapat kemungkinan bahwa seorang anak mengalami lebih dari satu jenis kelainan (kelainan ganda), karena hal ini dapat terjadi. ALAT IDENTIFIKASI ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS (AI ABK) Nama Sekolah : …………………………………… Kelas : …………………………………… Diisi Tanggal : …………………………………… Nama Petugas/Guru Kelas : …………………………………… Nama Siswa : …………………………………… No. Gejala yang diamati 1. Tunanetra (anak yang mengalami gangguan penglihatan) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Tidak mampu melihat, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- g. Peradangan hebat pada kedua bola mata, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- h. Mata bergoyang terus. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6 gejala di atas, maka anak termasuk tunanetra. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 2. Tunarungu (anak yang mengalami gangguan pendengaran) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Tidak mampu mendengar, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Terlambat perkembangan bahasa, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e. Ucapan kata tidak jelas, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- f. Kualitas suara aneh/monoton, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- h. Banyak perhatian terhadap getaran, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- i. Keluar nanah dari kedua telinga, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- j. Terdapat kelainan organis telinga. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 7. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 3. Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Anggauta gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali), ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Terdapat bagian anggauta gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Terdapat cacat pada alat gerak, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- g. Hiperaktif/tidak dapat tenang. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 5. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 4. Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Membaca pada usia lebih muda, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Membaca lebih cepat dan lebih banyak, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Memiliki perbendaharaan kata yang luas, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- f. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- g. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- h. Memberi jawaban-jawaban yang baik, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- i. Dapat memberikan banyak gagasan, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- j. Luwes dalam berpikir, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- k. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- l. Mempunyai pengamatan yang tajam, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- n. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- o. Senang mencoba hal-hal baru, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- p. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- q. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- r. Cepat menangkap hubungan sebabakibat, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- s. Berperilaku terarah pada tujuan, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- t. Mempunyai daya imajinasi yang kuat, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- u. Mempunyai banyak kegemaran (hobi), ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- v. Mempunyai daya ingat yang kuat, ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------w. Tidak cepat puas dengan prestasinya, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- x. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi), ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- y. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 18. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 5. Tunagrahita ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Perkembangan bicara/bahasa terlambat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong), ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali), ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- f. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 4. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 6. Anak lamban belajar ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Rata-rata prestasi belajarnya kurang dari 6, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Pernah tidak naik kelas. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 3. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- • Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Kalau membaca sering banyak kesalahan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 3. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- • Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya, --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Nilai standarnya 4. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- • Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- a. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
b. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
c. Sering salah membilang dengan urut,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
e. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nilai standarnya 4.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
a. Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
b. Tidak lancar dalam berbicaraa/mengemukakan ide,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
d. Kalau berbicara sering gagap/gugup,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
e. Suaranya parau/aneh,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
f. Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel,
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
g. Organ bicaranya tidak normal/sumbing.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nilai standarnya 5.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
9. Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
a. Bersikap membangkang,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
b. Mudah terangsang emosinya,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
c. Sering melakukan tindakan aggresif,
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
d. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nilai standarnya 4.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Nilai Raport Semester Terakhir
a. Pendidikan Agama : -------------------
b. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan : -------------------
c. Bahasa Indonesia : -------------------
d. Matematika : -------------------
e. Ilmu Pengetahuan Alam : -------------------
f. Ilmu Pengetahuan Sosial : -------------------
g. Kerajinan Tangan dan Kesenian : -------------------
h. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan : -------------------
i. Muatan Lokal : -------------------
JUMLAH : -------------------


HASIL PERTEMUAN KASUS (CASE CONFERENCE)
ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS


Nama Sekolah : …………………………………
Kelas : …………………………………

No. Nama Anak Uraian Kasus Saran Pemecahan
1. Siti Wulandari
2. dst.

1. Disleksia
2. Gangguan penglihatan
3. Sering tidak masuk sekolah

1. Remedial membaca
2. Periksa ke dokter/pindah tempat duduk
3. Perlu perhatian orang tua

Keterangan: Dilaporkan tanggal:
1. Tanggal pertemuan: Guru Kelas
2. Tempat:
3. Peserta :
( ………………………)

Selasa, 04 Januari 2011

POKJAR INKLUSI PROVINSI JABAR


PROGRAM
KELOMPOK KERJA PENDIDIKAN INKLUSIF
DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT
TAHUN 2010

A. Program
1. Mewujudkan Manajemen pendidikan yang transparan, inovatif, fleksibel, partisipatif, akuntable dan berkualitas melalui kegiatan
a. Pelatihan manajemen pendidikan
b. Seminar dan Lokakarya
c. Sosialisasi dan promosi
d. Pendampingan
e. Pengembangan jejaring
2. Mewujudkan sekolah ramah anak
Mewujudkan sekolah ramah dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut:
a. Pelatihan bidang kurikulum
1) Fleksibilitas kurikulum
2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).
3) KTSP yang lebih peka dalam mempertimbangkan keragaman peserta didik agar pembelajaran relevan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
4) Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dengan program pembelajaran individual (PPI) yang disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik dengan bobot materi berbeda dari kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam seting klasikal.
5) Bahan/ materi pendidikan yang sensitif jender dan tidak mempromosikan peran jender yang mendiskriminasi.
6) Pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus
7) Pengembangan ketersediaan fasilitas, kurikulum, buku dan pengajaran yang sesuai baik untuk peserta didik laki-laki maupun perempuan.
8) Penyesuaian-penyesuaian bahan ajar
9) Tim pengembang kurikulum yang komprehensif, antara lain beranggotakan guru pembimbing khusus, guru sekolah umum, kepala sekolah, orang tua, dan ahli yang berkaitan dengan kebutuhan khusus peserta didik.
10) Program khusus bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus, termasuk peserta didik yang berkesulitan belajar atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (PKBI).
11) Pengenalan pusat sumber (resource center) untuk meningkatkan kemampuan guru dalam memahami keberagaman peserta didik, identifikasi dan asesmen, PPI, penguasaan program khusus (orientasi dan mobilitas untuk peserta didik tunanetra, bina komunikasi persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik tunarungu, bina diri untuk peserta didik tunagrahita ringan dan sedang, bina diri dan bina gerak untuk peserta didik tunadaksa, bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras) dan teknis pendampingan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus.

b. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dikembangkan melalui kegiatan TOT (Training Of Trainers/ Pelatihan pelatih), IHT (In House Training/ Pelatihan ditingkat Gugus), OJT (On The Job Training/pelatihan ditingkat sekolah/ kelas), dan Lesson Study ( Pendekatan pelatihan melalui penelitian) dalam hal :
1) Adaptasi pembelajaran
2) Pelayanan individualisasi pembelajaran
3) Pelayanan pembelajaran individual
4) Pengembangan media pembelajaran
5) Sumber daya belajar

c. Penilaian
1) Pengembangan sistem penilaian dari segi cara, isi dan waktu
2) Pengembangan Penilaian yang dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan atau pemerintah.
3) Pengembangan standarisasi penilaian
4) Pengembangan penetapan kriteria penilaian, sistem kenaikan kelas dan kelulusan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
5) Pengembangan instrumen perangkat lunak dan perangkat keras

d. Sertifikasi
1) Pengembangan model sertifikasi bagi peserta didik
2) Pengembangan model laporan hasil belajar dan laporan ketuntasan satuan pendidikan bagi peserta didik

e. Identifikasi dan Asesmen
1) Pengembangan instrumen identifikasi dan asesmen.
2) Lokakarya dan pelatihan identifikasi dan asesmen
3) Layanan profesional identifikasi dan asesmen
4) Penyediaan perangkat lunak identifikasi dan asesmen

3. Meningkatkan kuantitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
a. Analisis kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan keahlian
b. Pendataan dan pemetaan pendidik dan tenaga pendidik
c. Rekrutmen, penempatan dan pemerataan pendidik dan tenaga kependidikan beserta regulasi kewenangan

4. Meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
a. Peningkatan kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan.
b. Peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
c. Pengembangan Guru Pembimbing Khusus (intenerant teacher) dari pusat sumber (resource center).
d. Peningkatan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan
e. Pengembangan penganugrahan, penghargaan dan promosi
f. Pembinaan dan pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam jabatan diselenggarakan melalui:
a) Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
b) Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi atau Balai Pelatihan Guru Daerah.
c) Kelompok kerja guru/kepala sekolah/pengawas sekolah (KKG, KKKS, KKPS, MGMP, MKS, MPS)
d) Pusat sumber

5. Meningkatkan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang aksessibel
a. Penyediaan sarana dan prasarana yang adaptif .
b. Pengembangan alat pembelajaran
c. Pengembangan media pembelajaran
d. Pengembangan SLB sebagai resource center (pusat layanan) secara bertahap di setiap kota/kabupaten.
e. Pengembangan aksesibilitas pendidikan

6. Meningkatkan kompetensi anak sesuai dengan kebutuhannya melalui kegiatan kesiswaan
a. Pendataan dan penjaringan anak 0 – 15 tahun di wilayah provinsi Jawa Barat
b. Membangun data base anak
c. Pengembangan regulasi sistem penerimaan siswa
d. Fleksibilitas sistem penerimaan siswa baru
e. Pengembangan diri dan kreativitas anak
f. Lomba kreativitas dan kompetensi siswa
g. Sertifikasi kompetensi siswa
h. Penghargaan dan promosi
i. Tukar pelajar antar daerah dan negara





E. JADWAL PROGRAM KEGIATAN POKJA PENDIDIKAN INKLUSIF
PROGRAM KELOMPOK KERJA PENDIDIKAN INKLUSIF DINAS PENDIDIKAN
PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2010
NO KEGIATAN/
SUB KEGIATAN TUJUAN SASARAN SUMBER
DANA WAKTU PELAKSANAAN/BULAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Pembentukan Kelompok Kerja dan Penyusunan Program Kerja Pendidikan Inklusif Kabupaten/Kota Terbentuknya Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif dan tersusunnya program kelompok kerja pendidikan inklusif

-Pemda
-Dinas Pendidikan
-Depag
-Pengawas
Sekolah
-Kepala Sekolah
-Guru
-LPTK
-LSM/Orsos
/Tokoh masyarakat
/Tokoh Agama
-Unsur terkait
Lainnya APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X
2 Rapat Kerja Pendidikan Inklusif Diperolehnya rumusan atau rencana kegiatan implementasi pendidikan inklusif -Dinas Pendidikan dan Depag Kab/Kota
-Pokja Inklusif
-Sekolah Sda X X
3 Rapat Koordinasi Pendidikan Inklusif Terkoordinasikannya kegiatan pendidikan inklusif -Pemda
-BAPEDA
-DPRD
-Dibale yang terkait
-Sekolah
-LSM/Orsos APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X
4 Grand Design Pengembangan Pendidikan Inklusif Jawa Barat dan Penyusun Rencana Aksi Kabupaten/Kota Tersusunnya grand design implementasi pendidikan inklusif jawa barat dan rencana aksi kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif DPRD
Dibale Provinsi/ Kabupaten/Kota
LSM Peduli Pendidikan
APBD Provinsi X X
5 Sosialisasi Pendidikan Inklusif Tersosialisasikannya pendidikan inklusif ke berbagai unsur /pejabat (Birokrasi) pemerintahan, dinas/ instansi/balai/lembaga (DIBALE) , dan masayarakat melalui media elektronik dan media cetak -Pejabat (Birokrasi) pemerintahan,
-Dinas/instansi /balai/lembaga (DIBALE) ,
-Tokoh masyarakat
-Tokoh agama
-Masyarakat APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X X
6 Workshop Pendidikan Inklusif Diperolehnya rumusan-rumusan atau rencana kegiatan yang efektif dan efisien dalam upaya mengimplementasikan pendidikan inklusif -Unsur Dinas
Pendidikan
-Kandepag
-Pokja Inklusif
-Pengawas sekolah
-Kepala Sekolah
-Guru APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X
7 Pemberian bantuan/masukan dalam kebijakan/program pendidikan inklusif
dan Penyusun Model Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten/Kota 7.1 Menyusun Peraturan/ Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tentang pendidikan inklusif dan sistem dukungan melalui serangkaian lokakarya
7.2 Tersedianya pedoman atau model penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dapat dijadikan acuan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam mengelola pendidikan inklusif. -Unsur Dinas
Pendidikan
-Kandepag
-Pokja Inklusif
-Pengawas sekolah
-Kepala Sekolah
-Guru APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X
8 Penjaringan dan pendataan anak berkebutuhan khusus (ABK) dan pemetaan sekolah umum penerima ABK di setiap kecamatan 8.1. Terjaringnya dan terdatanya anak berkebutuhan khusus di masyarakat yang belum bersekolah
8.2. Terpetakannya anak berkebutuhan khusus yang belum bersekolah tersebut sehingga dapat bersekolah di sekolah umum atau sekolah luar biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya Setiap Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa Barat

-Pemda
-Dinas Pendidikan
-Tim /Petugas
Penjaring
-Unsur
Kecamatan
-Unsur Desa
-Sekolah
-Orang tua
-Anak
berkebutuhan
khusus
-Biro Pusat Statistik APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X X
9 Pengadaan, pemberdayaan /Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan 9.1. Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif memiliki pendidik dan tenaga kependidikan kependidikan yang mempunyai kompetensi pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus
9.2. Meningkatnya kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.
-Kepala Sekolah
-Guru

-Dinas
Pendidikan
-Kandepag
-Pokja Inklusif
-Badan Diklatda
-Balai Pelatihan
Guru
-Pengawas Sekolah
-Widyaiswara
-LPTK

APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X X X
10 Penyusunan desain pembelajaran, strategi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, pengadaan/pengembangan media pembelajaran dan penilaian proses serta penilaian hasil belajar yang sesuai dengan kebutuhan semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus, serta aksesibilitas fisik infrastruktur dan bangunan sekolah. 10.1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di setiap jalur, jenjang, dan jenis serta satuan pendidikan fleksibel sehingga dapat mengakomodasi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus.
10.2. Tersedianya bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan khusus anak
10.3. Tersedianya media adaptif yang dibutuhkan anak berkebutuhan khusus
10.4. Tersedianya instrumen penilaian yang sesuai dengan baseline (kompetensi) anak berkebutuhan khusus
10.5. Infrastruktur dan bangunn sekolah aksesibel -Dinas
Pendidikan
-Kandepag
-Pokja Inklusif
-Pengawas
Sekolah
-Kepala Sekolah
-Guru
APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X X
11 Membangun/menyediakan Pusat Sumber (Resource Center) dan pemberdayaan Gugus SLB (KKG, KKKS, dan KKPS PLB) dan Gugus SD, MGMP, MKS dan MPS dalam mendukung implementasi pendidikan inklusif.
11.1. Tersedianya pusat sumber pendidikan inklusif yang dapat mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif .
11.2.Meningkatnya peran Gugus SLB (KKG, KKKS, dan KKPS PLB) dan Gugus SD, MGMP, MKKS dan MKPS dalam mendukung implementasi pendidikan inklusif. Pusat Sumber (Resource Center)
di setiap Kabupaten/ Kota

-Dinas
Pendidikan
-Kandepag
-Pokja Inklusif
-Pengawas Sekolah
-Kepala Sekolah
-Guru
-Pengurus dan anggota Gugus SLB (KKG, KKKS, dan KKPS PLB) dan Gugus SD, MGMP, MKKS dan MKPS

APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X X
12 Pemberian penghargaan kepada Kabupaten/Kota, Sekolah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Masyarakat yang peduli dalam pengembangan pendidikan inklusif.
Memberikan penghargaan untuk memotivasi Kabupaten/Kota, Sekolah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Masyarakat yang peduli dalam pengembangan pendidikan inklusif yang terselesi memiliki kesuksesan melakukan komitmennya/kegiatannya dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif
Pemerintah Kabupaten/Kota
Sekolah
Pendidik
Tenaga Kependidikan

APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X
13 Pelaksanaan konsultasi pendidikan inklusif
Terlaksananya konsultasi pendidikan inklusif bagi semua pihak yang membutuhkan informasi dan sistem layanan dalam implementasi pendidikan inklusif
Pendidik
Tenaga Kependidikan
Masyarakat dan pihak lainnya APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X X X X X X X X X X X
14 Pengintegrasian data ABK
Terlaksananya serangkaian kesepakatan pada pengintegrasian data anak penyandang cacat/berkelainan dan anak kesulitan belajar ke dalam system dan SIM Pendidikan serta SIM sekolah

Data ABK APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X
15 Rapat kerja dengan pokja inklusif kabupaten dan kota secara berkala. Terinventarisirnya perkembangan pendidikan inlkusif di wilayah kerja pokja kota dan kabupaten. Pokja inklusif kabupaten/kota se-Provinsi Jawa Barat
Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif Provinsi
Unsur Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota APBN
APBD Provinsi
APBD Kabupaten /Kota
Swadaya
Lembaga Donor lainnya yang tidak mengikat X X
16 Penelitian penyelenggaraan pendidikan inklusif
Mendukung pelaksanaan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota X X
17 Pemantauan dan Evaluasi serta Rencana Tindak Lanjut (RTL) Program pendidikan inklusif oleh tenaga yang kompeten dan kegiatannya terencana, sistematis, konsisten dan konsekuen 18.1. Terlaksananya Pemantauan dan Evaluasi Pendidikan Inklusif di setiap satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif
18.2. Terumuskannya rencana tindak lanjut program pendidikan inklusif
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota

-Dinas
Pendidikan
Provinsi dan
Kabupaten/
Kota

-Pokja Inklusif
Provinsi dan
Kabupaten/
Kota X X
18 Laporan Perkembangan Pendidikan Inklusif

Terlaksananya laporan perkembangan pendidikan inklusif ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Gubernur) dengan tembusan ke Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Dinas Pendidikan Provinsi X

F. PROGRAM PRIORITAS

Urutan am prioritas Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2010, adalah :
1. Pembentukan Kelompok Kerja dan Penyusunan Program Kerja Pendidikan Inklusif Kabupaten/Kota
2. Rapat Kerja Pendidikan Inklusif
3. Rapat Koordinasi Pendidikan Inklusif
4. Grand Design Pengembangan Pendidikan Inklusif Jawa Barat dan Penyusun Rencana Aksi Kabupaten/Kota
5. Sosialisasi Pendidikan Inklusif
6. Workshop Pendidikan Inklusif
7. Pengadaan, pemberdayaan /Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
8. Penyusunan desain pembelajaran, strategi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, pengadaan/pengembangan media pembelajaran dan penilaian proses serta penilaian hasil belajar yang sesuai dengan kebutuhan semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus, serta aksesibilitas fisik infrastruktur dan bangunan sekolah
9. Pelaksanaan konsultasi pendidikan inklusif
10. Penjaringan dan pendataan anak berkebutuhan khusus (ABK) dan pemetaan sekolah umum penerima ABK di setiap kecamatan
11. Pengintegrasian data ABK
12. Pemberian bantuan/masukan dalam kebijakan/program pendidikan inklusif dan Penyusun Model Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten/Kota
13. Membangun/menyediakan Pusat Sumber (Resource Center) dan pemberdayaan Gugus SLB (KKG, KKKS, dan KKPS PLB) dan Gugus SD, MGMP, MKS dan MPS dalam mendukung implementasi pendidikan inklusif.
14. Penelitian penyelenggaraan pendidikan inklusif
15. Pemberian penghargaan kepada Kabupaten/Kota, Sekolah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Masyarakat yang peduli dalam pengembangan pendidikan inklusif.
16. Pemantauan dan Evaluasi serta Rencana Tindak Lanjut (RTL) Program pendidikan inklusif oleh tenaga yang kompeten dan kegiatannya terencana, sistematis, konsisten dan konsekuen
17. Rapat kerja dengan pokja inklusif kabupaten dan kota secara berkala.
18. Laporan Perkembangan Pendidikan Inklusif

Senin, 03 Januari 2011

Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum


Gambar : Naura (paling kanan) anak Autis di SDN Cibabat Mandiri 2 Kota Cimahi

Pendidikan adalah kunci masa depan setiap individu, apalagi bila ia termasuk penyandang autisme. Setiap orang tua mendambakan agar anaknya bisa mengikuti pendidikan jalur ‘normal’ yang memberikan kesempatan bagi anak mengikuti semua kegiatan. Sayangnya di Indonesia belum menjadi keharusan bagi semua institusi untuk menerima anak dengan masalah autisme bersekolah di tempat mereka. Seringkali kesempatan bersekolah tersebut masih harus diperjuangkan, dan perjuangan yang luar biasa sulitnya bisa menjadi sia-sia karena anak, orang tua maupun guru belum sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi murid ‘istimewa’ ini di tengah-tengah mereka. Atau, ketika anak sudah berada di sekolah dan timbul masalah, sedikit orang yang paham harus bagaimana membantu anak sehingga ia makin terpuruk dalam masalah.
Kiat praktis mempersiapkan dan membantu anak autis ini bersekolah di sekolah umum adalah tema yang dikupas dalam makalah singkat ini.


I.     INDIVIDU AUTISME

Seseorang baru dapat dikatakan sebagai termasuk Autistic Spectrum Disorder, bila ia memiliki  sebagian dari uraian gejala-gejala berikut ini:

a.          Gangguan komunikasi --- cenderung mengalami hambatan mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab sesuai konteks, sering membeo ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan bicara secara total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya. Biasanya, orang tua khawatir anaknya ASD karena perkembangan bicara yang tidak setara dengan anak lain seusianya.
b.          Gangguan perilaku --- adanya perilaku stereotipi / khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya. Variasi perilaku yang ter-tampil sangatlah beragam, sehingga tidak mungkin dijabarkan satu per satu.
c.           Gangguan interaksi --- secara umum terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya.

Masalah di atas sering juga disertai dengan adanya ketidakmampuan untuk bermain, gangguan makan dan atau gangguan tidur. Anak tidak menggunakan permainan sebagaimana mestinya, sangat pemilih dalam hal menu makanannya, cenderung ada masalah pencernaan, atau sangat terbatas asupannya. Anak juga sering sulit tidur atau terbangun tengah malam… dan berbagai jenis permasalahan lainnya.
Beberapa individu yang termasuk dalam spektrum autisme juga melaporkan bahwa mereka memiliki berbagai ciri khas dalam mempersepsi dunia, seperti misalnya (Siegel, 1996):

  Visual thinking 
dimana mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Biasanya, ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk ‘video’ atau file gambar. Proses berpikir yang menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal; akibatnya.. mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika. 

  Processing problems
      Sebagian anak ASD mengalam kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami ‘common sense’  atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka sulit  merangkai informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan individu ASD yang lebih mudah berpikir secara visual.
         
  Sensory sensitivities
Perkembangan yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD juga sedikit banyak mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak ASD:
-   Sound sensitivity: dimana anak jadi takut berlebihan pd suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola kepekaan akan suara keras/ bising ini tidak sama, dan frekuensi setiap individu juga berbeda-beda.
    Kadang anak mendengung/bergumam untuk menghalangi gangguan suara tadi. Dengan ia mendengung, ia hanya mendengar dengungannya dan tidak mendengar suara lain yang tidak dapat ia prediksi.
-   Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk  masalah perilaku (termasuk masalah makan & pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat ia artikan sebagai hukuman yang menyakitkan.
-   Rhytm difficulties: Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan ‘saat utk masuk dalam percakapan’. Itu sebabnya banyak individu ASD terus menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali dianggap lingkungan sebagai ‘tidak sopan’. Padahal, ini adalah masalah fisik mereka.

  Communications frustrations
       Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada individu ASD membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap sesamanya. Mereka merasa, percakapan itu tidak ditujukan kepada mereka, karena itu mereka sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta mereka menjawab meski mereka tidak ditanya secara langsung. Individu ASD juga sulit mengungkapkan diri, sehingga lalu berteriak atau berperilaku negatif lain sekedar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tahu dan atau tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif, kadang harus berada dalam kondisi tertekan untuk dapat ekspresi sehingga seringkali frustrasi bila tidak dimengerti.

  Social & emotional issues
Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu ASD cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu ASD sulit adaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Apalagi, bila perubahan tersebut terjadi dengan cepat dan tanpa penjelasan sama sekali. Keterpakuan akan sesuatu membuat mereka sulit memahami berbagai situasi sosial seperti tata cara pergaulan dan hukum sosialisasi yang sangat bervariasi tergantung kondisi dan situasi sesaat.
Pada umumnya individu ASD tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak. Itu sebabnya, banyak yang sulit empati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan.

  Problems of  control:
Berbagai gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD menjadi makin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku. Mereka cenderung berperilaku ritual dengan pola tertentu, dan ada keterpakuan pada beberapa jenis objek. Sebagian dari mereka juga memiliki ketakutan yang luar biasa pada hal-hal yang tidak ia mengerti. 

  Problems of  tolerance:
Kepekaan yang berlebihan akan rangsang stimuli tertentu, membuat individu ASD menarik diri dari lingkungannya. Mereka kurang dapat mentolerir rangsang-rangsang tersebut, dan ini merupakan manifestasi masalah sensori di tubuhnya. Sebagian dari mereka juga cenderung sangat peka terhadap berbagai muatan emosi yang terjadi di sekitarnya. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesan-pesan emosi yang terjadi saat bergaul, sehingga kadang memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan.

  Problems of  connection:
Berbagai masalah yang berkaitan dengan ‘kemampuan individu menalar’ adalah 
  Attention problems:  masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi
  Perceptual problems: masalah proses persepsi, bingung sehingga menghindari orang lain.
  Systems integration problems: proses informasi di otak bekerja secara ‘mono’ (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus
  Left-right hemisphere-integration problems: otak kiri tidak secara konsisten tahu apa yang terjadi pada otak kanan (dan sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi.

Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut, menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autisme yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu sebabnya, penanganan juga tidak dapat disama-ratakan. Paham “individual differences” (Greenspan, 1998) sangat ditekankan, sehingga orang tua dan guru tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.
Dalam menghadapi variasi jenis kelebihan dan kekurangan masing-masing anak, kemampuan untuk mengobservasi menjadi sangat penting. Orang tua adalah pengamat di rumah, guru adalah pengamat handal di sekolah. Apa yang harus diamati? Banyak sekali: kebiasaan anak dalam menghabiskan waktu di rumah, perilaku yang sering ia tampilkan, bagaimana ia mencerna informasi, bagaimana respons anak terhadap usaha orang tua mengajarkan kebiasaan baru dan sebagainya. 
Karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua anak ASD untuk bekerja sama berusaha mencari penanganan terbaik bagi anak-anak ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, para orang dewasa di sekitar anak ASD-lah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak ASD. Berikan mereka kesempatan dan target yang realistis di tempat belajar “umum”, serta ajarkan ketrampilan-ketrampilan baru melalui cara yang khusus (bila perlu) sesuai kemampuan dan gaya belajar mereka.

Gaya belajar individu autisme
Setiap individu mempunyai gaya tersendiri dalam upayanya mencerna informasi secara efektif. Pada umumnya kita belajar melalui indra penglihatan, perabaan dan atau pendengaran. Kita juga punya aneka gaya dalam mengingat. Ada individu yang lebih ingat fakta daripada orang lain. Ada yang lebih suka detil, sementara orang lain tidak suka pada detil. Bagaimana dengan individu autisme ?  Ada beberapa gaya belajar yang dominan pada diri mereka (Sussman, 1999):

*       Rote learner: Anak yang memakai gaya belajar ini, cenderung menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka hafalkan itu. Contoh: anak dapat mengucapkan huruf dengan baik secara urut (atau melengkapi urutan abjad yang tak lengkap), tetapi sesungguhnya tidak tahu bahwa huruf itu bila digabung dengan huruf lain akan menjadi kata yang mengandung makna. Atau, anak yang dapat menghafalkan angka, tidak: Anak tahu bahwa simbol itu mewakili 'jumlah' benda.
*       Gestalt learner: Bila anak menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata-per-kata yang terdapat pada kalimat tersebut, anak cenderung belajar menggunakan gaya 'gestalt' (melihat sesuatu secara global). Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.
        Misalnya, Anda berikan mainan karet yang biasanya dimainkan sambil mandi dan mengatakan "letakkan di air", ia akan dapat melakukannya. Tetapi bila Anda berikan mainan yang sama lalu mengatakan "letakkan di rak mainan", ia akan tetap meletakkannya di air. Ia tidak paham makna kata 'letakkan' tetapi hanya mengasosiasikan seluruh kalimat dengan kebiasaannya saja. Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.
*    Visual learner:  Anak dengan gaya belajar 'visual' senang melihat-lihat buku atau gambar atau menonton TV dan umumnya lebih mudah mencerna informasi yang dapat mereka lihat, daripada yang hanya dapat mereka dengar. Berhubung penglihatan adalah indra terkuat mereka, tidak heran banyak anak autis sangat menyukai TV/ VCD / gambar.
*    Hands-on learner:  Anak yang belajar dengan gaya ini, senang mencoba-coba dan biasanya mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya. Mulanya ia mungkin tidak tahu apa arti kata 'buka' tetapi sesudah Anda letakkan tangannya di pegangan pintu dan membantu tangannya membuka sambil Anda katakan 'buka', ia segera tahu bahwa bila Anda katakan 'buka' berarti .. ia ke pintu dan membuka pintu itu. Anak-anak ini umumnya senang menekan-nekan tombol, membongkar mainan dsb.
*    Auditory learner:   Anak dengan gaya belajar ini senang bicara dan mendengarkan orang lain bicara. Ia mendapatkan informasi melalui pendengarannya. Jarang sekali anak autis bergantung sepenuhnya pada gaya ini dan biasanya menggabungkannya dengan gaya lain.

Tanpa mengesampingkan fakta bahwa setiap individu autis memiliki ciri khas yang berbeda-beda, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar, pada umumnya mereka memiliki ciri khas sebagai berikut:
 CIRI YANG DAPAT MEMBANTU
CIRI YANG DAPAT MENJADI KENDALA

-   Daya ingat baik, dapat mengingat in-formasi (rote learner, gestalt learner)
-   Mudah memahami dan mengingat berbagai hal yang ia lihat atau ia pegang (visual learner & visual thinking)
-   Mudah memahami berbagai hal yang ia alami (hands-on learner)
-   Dapat ditingkatkan pemahamannya, bah-kan sebagian besar di antara mereka tidak terganggu daya tangkapnya
-   Dapat diarahkan, dapat dibantu aktualisasi potensi

  Sulit memahami instruksi yang disampaikan  
 secara verbal dan merupakan rangkaian
  Sulit melakukan dua hal sekaligus, karena berpikir secara ‘mono’ (tunggal)
  Proses berpikir visual lebih lambat daripada proses berpikir ‘biasa’ sehingga perlu jeda
 sebelum berespons
  Ketakutan berlebihan/ irasional akan sesuatu
  Fiksasi akan sesuatu, berpikir kaku
  Sulit persepsi irama (ritme) 
  Sulit berdialog dan berkomunikasi
  Sulit pahami aturan-aturan sosial


II.    PENDIDIKAN BAGI INDIVIDU AUTISME

Fakta bahwa individu-individu ASD belajar secara berbeda karena perbedaan neurobiologis bawaan mereka memberikan dampak pada tiga hal (Siegel, 1996):
1.       Belajar menjadi tugas yang lebih berat bagi individu ASD
2.       Individu ASD harus diajarkan dalam gaya yang ‘khusus’ bagi setiap individu, agar mereka bisa memahami materi dengan baik. Berarti, stimulus disampaikan dalam bentuk atau cara yang khusus
3.       Bila intervensi dilakukan lebih dini, maka perjuangan untuk mengajar individu-individu ini diharapkan akan lebih mudah karena mereka sudah lebih tertata (tidak terlalu tantrum atau berperilaku negatif lainnya)

Intervensi dini menjadi satu langkah yang penting, dan salah satu teknik/metode yang banyak digunakan adalah Applied Behavioral Analysis yang ditemukan oleh Ivar O. Lovaas (Maurice, 1996). Penanganan intervensi dini menggunakan teknik ‘one-on-one’ atau satu guru satu anak, yang sangat intensif dan terfokus dengan kurikulum yang sangat terstruktur.
 Komponen ‘one-on-one’ ini menjadi penting artinya pada proses belajar awal, terutama bagi anak-anak yang masih rendah tingkat kepatuhan dan imitasi-nya. (Siegel, 1996). Intensitas (jumlah jam per minggu) juga sangat penting, seperti yang dilaporkan oleh hasil penelitian Lovaas (Lovaas, 1981). Kecenderungan orang tua untuk panik dan mengharapkan hasil terbaik membuat mereka menjadwalkan penanganan intensif terstruktur tanpa melihat pengaruhnya pada anak. Akibatnya, anak menjadi tertekan dan bingung, apalagi bila di luar penanganan terstruktur tersebut tidak ada bentuk penanganan lain yang lebih alami sementara penanganan (terapi) yang ia terima dilakukan secara kaku. Itu sebabnya, Greenspan (1998) mengusulkan adanya usaha orang tua meluangkan waktu bersama anak dalam bentuk kegiatan tidak berstruktur tetapi alami.

Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditempuh oleh anak ASD dalam jalur pendidikan. Penetapan akan menempuh jalur yang mana sangat dipenuhi oleh berbagai aspek, antara lain: banyaknya gejala autisme pada anak, daya tangkap, kemampuan berkomunikasi, usia dan harapan (atau tuntutan) orang tua.

Alternatif pilihan bentuk pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat, antara lain terbagi atas jalur pendidikan khusus  (Siegel, 1996):
1.       Individual Therapy, antara lain melalui penanganan di tempat terapi atau di rumah (home-based therapy dan kemudian homeschooling).
Intervensi seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu ASD. Melalui penanganan one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar mengembangkan sikap mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat.      

2.       Designated Autistic Classes
Salah satu bentuk transisi dari penanganan individual ke bentuk kelas klasikal, dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-sama mengikuti jenis instruksi yang khas. Anak-anak ini berada dalam kelompok yang kecil (1-3 anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu imitasi dengan baik.
3.       Ability Grouped Classes
Anak-anak yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak terlalu memerlukan penanganan one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada respons terhadap pujian, dan ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis lingkungan yang menyediakan teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga memiliki masalah perkembangan bahasa.
4.       Social Skills Development and Mixed Disability Classes
Kelas ini terdiri atas anak dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak melulu autistik. Biasanya, anak autis berespons dengan baik bila dikelompokkan dengan anak-anak Down Syndrome yang cenderung memiliki ciri ‘hyper-social’ (ketertarikan berlebihan untuk membina hubungan sosial dengan orang lain). Ciri ini membuat mereka cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar anak autis sekedar untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis.

dan jalur pendidikan umum (mainstream).
Maksud kata ‘mainstream’ berarti melibatkan seorang anak dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas-kelas umum. Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan tanpa adanya perhatian pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Padahal, sebetulnya anak memang memiliki kebutuhan khusus.
Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk “academic main-stream” (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau “social mainstream” (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).


III.  PERSIAPAN YANG SEBAIKNYA DIJALANKAN

Berdasarkan uraian di atas, tentu saja kita harus menarik satu kesimpulan: ada jenjang persiapan yang harus dijalani sebelum anak dengan gangguan perkembangan autisme ini dimasukkan ke dalam lingkungan sekolah umum.
Persiapan tersebut perlu dijalani oleh berbagai pihak yang terlibat: anak, sekolah dan orang tua.
*       Anak: dua hal penting yang harus dipertimbangkan adalah apakah anak siap untuk belajar dalam kelompok (kecil atau besar, tergantung masing-masing sekolah) dan kesiapan anak mengikuti rutinitas di sekolah (makan bersama, toileting, olah raga, upacara dsb).
 Semua pihak perlu mempertimbangkan faktor berikut:
-   Fungsi kognitif                                         à  Tingkatan fungsi kognisi, verbal atau
                                                                                        non-verbal
-   Bahasa dan komunikasi        à  Tingkatan pemahaman bahasa (bicara ><
tertulis), tingkatan kemampuan berkomunikasi
-   Kemampuan akademis                         à  Pemahaman konsep bahasa, matematika,
                                                                                        kebutuhan akan bantuan dari orang lain
-   Perilaku di kelas                                       à  Kesanggupan mengikuti proses belajar
                                                                                        mengajar di kelas  (1:3, 1:8, 1:15, 1:30).
Kesanggupan mengerjakan tugas secara mandiri. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan transisi atau perubahan di dalam kelas
 Sekolah:
Saat ini sudah ada beberapa sekolah menerima keberadaan anak autis di dalam kelas umum. Tetapi sikap menerima saja tidak cukup bila tidak diikuti dengan beberapa penyesuaian, antara lain:
-   Modifikasi lingkungan:  Bangunan sekolah, tata-letak di dalam kelas, lingkungan sekitar
-   Pelatihan staf:              Menerima perbedaan anak dan mau belajar lagi
Keterbukaan akan kerja sama dengan pihak lain terkait
Pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu tatalaksana anak autis
-   Penyuluhan kepada orang tua/anak lain: Hal ini tidak mudah, karena banyak orang tua lain beranggapan bahwa sekolah umum seharusnya tidak menerima anak dengan masalah.  Mereka khawatir sifat autisme anak akan menular pada
anak-anak mereka.
-   Sikap terhadap saudara kandung: apakah keberadaan saudara sekandung dengan autisme ini menjadi suatu keuntungan atau kekurangan bagi kakak/adik tsb.
*       Orang tua:
Keadaan orang tua sangat menentukan proses belajar mengajar dan pencapaian masing-masing anak. Dalam hal ini, yang penting diperhatikan adalah:
-   Pengharapan keluarga:  Apa yang diharapkan dicapai dari keberadaan anak berada di sekolah: apakah full inclusion atau social mainstream ?
Pengharapan ini sangat menentukan target pendidikan bagi anak di sekolah. Target yang “lepas dari konteks” dalam arti tidak sesuai potensi yang ditampilkan anak (berlebihan), tentu akan membuat siapapun yang terlibat menjadi frustrasi. Anak bahkan bisa tidak suka belajar / sekolah. Sebaliknya, target di bawah kemampuan anak akan membuat ia bosan dan juga tidak suka sekolah.
-   Kebutuhan dari anggota keluarga yang lain:  Anggota keluarga bukan terdiri atas anak autis ini saja, tetapi tentu saja menyangkut kakak/adik dan orang tua anak. Keterlibatan anak di lingkungan sekolah umum, mau tidak mau akan mempengaruhi kegiatan sehari-hari seluruh keluarga. Anak harus mengerjakan pekerjaan rumah, orang tua harus menunggui, kakak/adik diberi tanggung jawab mengenai kegiatan anak di rumah dan sekolah, dsb.
-   Adanya dukungan lingkungan: Lingkungan disini, termasuk juga orang tua lain di sekolah tersebut (POMG). Bagaimanakah sikap mereka, apakah mendukung atau tidak. Bagaimana juga sikap anak lain di sekolah tersebut, apakah menerima keberadaan anak autis ini atau tidak. Bagaimana sikap guru di luar kelas ini, sikap kepala sekolah dsb.
*       Tenaga profesional terkait:
Adakah tenaga profesional yang dilibatkan dalam tim pendukung anak:
-       Dokter:              Peran dokter disini (dokter anak, psikiater anak, dokter mata, THT, gizi dsb sesuai kebutuhan anak) amat penting karena proses belajar mengajar anak tidak akan lancar kecuali ia dalam keadaan sehat.
-       Psikolog:          Peran psikolog adalah untuk memberikan gambaran profil psikologis anak (psychological profile), sehingga orang tua dan pihak sekolah paham kelebihan dan kekurangan anak secara menyeluruh. Gambaran profil ini dapat membantu semua pihak terkait dalam mengarahkan anak sehingga potensi aktual dapat terealisir secara optimal tanpa membuat anak tertekan.
-       Guru pendamping: Pada umumnya anak autis memerlukan guru pendamping pada masa awal penyesuaian di lingkungan kelas yang jelas berbeda dengan lingkungan terapi individual. Masalahnya, tidak semua sekolah menyediakan guru pendamping dengan kualifikasi yang jelas, atau tidak semua orang tua bersedia menggunakan guru pendamping yang disediakan pihak sekolah oleh karena berbagai alasan. Guru pendamping juga sering tidak paham sebatas mana mereka diperbolehkan membantu anak. Akibatnya, anak tergantung pada guru pendamping, guru kelas tidak berusaha kenal anak karena anak hampir selalu berada bersama dengan guru pendamping, dan pada akhirnya anak tetap menjadi ‘anak bawang’ karena ia tidak terlalu berbaur dengan lingkungannya.
-       Terapis:            Meskipun sudah bersekolah di sekolah umum, sebagian dari anak autis masih memerlukan bimbingan khusus di rumah. Tugas ini biasanya dibebankan kepada terapis rumah, yaitu terapis atau guru yang bertugas untuk mengulang materi yang dipelajari di sekolah lengkap dengan generalisasi-nya, mempersiapkan anak akan materi yang akan datang, dan membantu anak mengkompensasi kelemahannya melalui berbagai teknik dan kiat praktis.
Apakah ada kerja sama yang baik antara tenaga profesional dengan sekolah dan keluarga, dalam arti keterbukaan secara profesional demi kemajuan si anak. Adakah bantuan akademis (dalam bentuk sesi khusus atau modifikasi proses), atau kelompok orang tua dengan masalah sama?


Piramida sasaran pendidikan:

Dr. Lam Chee Meng & Chan Yee Pei, BSc dalam konferensi WeCan di Singapore November 2002 mengungkapkan bahwa semua pihak sebaiknya mengacu pada piramida berikut dalam menerapkan target pendidikan bagi anak autisme:

3  
 
 
Socialization
 
 
Academic skills

 
 Work Habits,
Self-Regulation

 
 Self-Help, Independence

 
Functional Communication

 
2  
 
 








Bagian piramida yang paling penting adalah bagian bawah, karena seluruh bangunan akan hancur bila pondasi tidak kokoh.


Bagian paling bawah, adalah:
*         Work habits, Self-regulation:
Sikap kerja anak setiapkali diberi tugas dan bagaimana ia mengembangkan kontrol serta strategi setiap ia mengahadapi stres.
*         Self-Help, Independence:
Kemampuan anak membantu dirinya sendiri dan bersikap mandiri sesuai usia tahap perkembangan. Misal: mampu ke kamar mandi sendiri, mampu membereskan buku sendiri, bertanggung jawab atas barang bawaannya, pergi ke guru tanpa harus diarahkan dsb.
*         Functional Communication:
Meskipun sebagian komunitas anak autis dapat bicara, tetapi seringkali kemampuannya masih belum untuk menjawab pertanyaan secara konsisten dan kontekstual. Anak juga terkadang belum dapat menyampaikan keinginan, perasaan dan pendapat sehingga sering frustrasi dan lalu menyebabkan ia berperilaku negatif.

Persiapan bagian bawah piramida tersebut seyogyanya dilakukan sebelum anak masuk ke sekolah umum, karena di sekolah anak akan berhadapan dengan target akademis dan sosialisasi.
Target akademis juga sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan anak, sehingga kecenderungan anak untuk frustrasi dapat diperkecil dan bila mungkin dihilangkan. Misal: anak sulit memahami konsep abstrak, jadi sebaiknya sedapat mungkin hal yang abstrak dibuat lebih konkrit. Anak sulit menghadapi perubahan mendadak, sehingga sebaiknya ia diberitahu terlebih dahulu sebelum perubahan itu harus ia hadapi.






IV.  BANTUAN YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN

Lalu, bagaimana bila anak sudah terlanjur masuk ke dalam lingkungan sekolah, dan ia tampak mengalami berbagai masalah yang menghambat aktualisasi potensinya? Tentu saja masih ada alternatif solusi yang dapat dicoba baik oleh orang tua maupun pihak sekolah, yakni:

A.    Memahami kondisi anak secara menyeluruh
Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk “academic mainstream” (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis)  atau “social mainstream” (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).
Di Indonesia belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus bagi anak ASD usia sekolah, kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah umum yang bersedia memberikan kesempatan untuk menampung individu ASD. Timbul masalah baru, dimana para guru lalu merasa kewalahan dalam menangani anak-anak ini, karena mereka tidak tahu harus berbuat apa. Untuk itu, penting dilakukan evaluasi dan atau observasi mendalam sebelum anak mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Tujuan evaluasi/observasi mendalam ini adalah untuk mendapatkan profil psikologis anak, yang antara lain mencakup aspek:
-       Gejala autisme yang ada pada anak dan intensitas gejala tersebut (perilaku, komunikasi, interaksi, kecenderungan menyerang diri sendiri atau orang lain, gangguan konsentrasi dsb)
-       Kendala apa yang mungkin dialami anak di kelas (anak diet ketat sehingga mungkin akan frustrasi saat makan bersama, anak sulit pusatkan perhatian sehingga letak duduk akan mempengaruhi pemahaman, masalah motorik halus sehingga sulit menulis dsb).
-       Kelebihan apa yang dimiliki anak, yang mungkin dapat digunakan sebagai kompensasi (daya ingat kuat, sangat visual, pemahaman konsep abstrak cepat tangkap asalkan ada pengalaman aktual dsb).
-       Seberapa besar peran pendukung dibutuhkan oleh anak, dan bagaimana bentuknya (masih harus didampingi guru pendamping, pelajaran harus diulang di rumah secara intensif, harus menggunakan terapi medikasi/terapi lain, dsb).

B.    Memahami peran masing-masing pihak dan menjalankan tugas sesuai batasan peran tersebut
*         Sebagai orang tua, ketat memantau perkembangan anak di kelas dan di sekolah. Siap membantu guru setiap kali terjadi masalah, tidak menunggu hingga masalah menjadi berkepanjangan. Bersedia menerima masukan, baik atau buruk, demi kemajuan anak. Tidak langsung menyalahkan pihak lain, tetapi bersedia melihat permasalahan secara obyektif dari kacamata dua belah pihak.
*         Sebagai guru, memperlakukan anak sesuai harkatnya yang memang terlahir sebagai individu dengan gangguan perkembangan autisme. Bersedia menerima masukan, terutama menyangkut masalah modifikasi proses belajar mengajar demi tercapainya pemahaman materi. Segera memberi tahu bila tampak ada masalah sekecil apapun, guna dapat dicari pemecahannya agar tidak berlarut-larut.
*         Sebagai guru pendamping (shadower), paham batasan peran tersebut dan justru menjadikan “kemandirian anak” sebagai tujuan akhir. Adapun peran/tugas guru pendamping adalah:
-   Memastikan agar anak memahami semua persyaratan untuk menyelesaikan tugas dan menjalani rutinitas prosedur di kelas sehari-hari
-   Mengusahakan agar anak memperoleh dukungan struktur yang ia perlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan di kelas (icon, skedul, simbol, kartu dsb).
-   Menjembatani situasi agar terjadi hubungan antara anak dengan guru kelas. Tugas guru pendamping terbatas pada mempermudah dan memperjelas informasi yang disampaikan oleh guru kelas, tetapi sebatas diperlukan. Hubungan antara anak dengan guru kelas justru adalah tujuan utama yang harus dicapai oleh guru pendamping. Sebaiknya anak tidak hanya berhubungan dengan guru pendamping.
-   Memberikan bantuan dan kesempatan kepada anak agar ia dapat mengembangkan hubungan dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Jangan justru hanya bermain bersama guru pendamping.
-   Berusaha keras agar anak belajar berfungsi secara mandiri di lingkungan sekolah.

Singkat kata, guru pendamping dapat dikatakan berhasil bila ia dapat membimbing anak sedemikian rupa sehingga guru pendamping tidak dibutuhkan lagi kehadirannya di sekolah.

C.    Memperhatikan beberapa prinsip kunci dalam penanganan masalah
Masalah anak di kelas terbagi atas beberapa aspek: komunikasi, pemahaman, interaksi, struktur lingkungan, dan perilaku.
1.       Komunikasi
Komunikasi lebih dari sekedar bicara.
Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistim biologis dan sistim syaraf dalam tubuh anak. Tidak heran bila pematangan sistim tersebut terhambat, maka terhambat pulalah kemampuan komunikasi seseorang. Komunikasi juga terkait dengan kemampuan kognisi, sehingga makin bermasalah seseorang dalam pemahamannya maka akan makin terbatas kemampuan komunikasinya (Quill, 1995). Komunikasi juga melibatkan perkembangan bahasa - bicara, dan penguasaan berbagai kemampuan a.l pemahaman, sosialisasi, bergiliran, pilihan, keinginan, dan pengungkapan. (Hodgdon, 1999; Maurice 1996).
Anak ASD umumnya mengalami hambatan dalam aneka aspek perkembangan yang sudah disebutkan di atas. Awalnya mereka tidak ada alasan untuk berkomunikasi (tidak tertarik, tidak ada kebutuhan), dan ketika mereka sudah tertarik untuk berkomunikasi, mereka memiliki masalah lain (sulit mengungkapkan diri, tidak dapat menjalin kontak mata, sulit memusatkan perhatian dsb).
Menuntut seorang anak ASD untuk bicara lancar tanpa ada masalah, jelas tidak adil. Ia akan semakin tegang, dan ketegangan ini menghambatnya untuk berpikir leluasa. Sebaiknya ia diberi kemampuan yang ia perlukan untuk berkomunikasi (bukan hanya bicara) dan dibantu untuk dapat berkomunikasi dengan lebih efektif.
Guna membantu anak ASD berkomunikasi dengan efektif, mereka perlu diajarkan untuk:
      Memahami makna “ya” dan “tidak”
      Menetapkan pilihan
      Memahami konsep representasi: bahwa gambar 2 dimensi mewakili sesuatu yang nyata
      Melakukan deskripsi terhadap suatu gambar dan kemudian rangkaian gambar
      Melakukan tanya jawab secara konsisten dan terarah
      Melakukan percakapan (parallel talk)
      Bertanya
      Bercerita

Mengingat bahwa anak ASD cenderung lebih mudah mencerna apapun yang dapat mereka lihat dan mereka pegang, ada baiknya membantu anak ASD berkomunikasi dengan menggunakan visualisasi.

Visualisasi ini membantu anak ASD membayangkan berbagai hal, sehingga pada akhirnya dapat melakukan komunikasi dengan lebih efektif.
Bagi anak ASD yang mungkin tidak terlalu dapat berkomunikasi, penggunaan teknik PECS (Picture Exchange Communication System) juga dapat dipertimbangkan. Sistim ini memungkinkan anak ASD mengekspresikan diri dalam bentuk yang sangat universal, dimengerti oleh semua orang, tanpa ia harus mengucapkan kata-kata.
Guru atau orang tua perlu juga mempermudah gaya berkomunikasi, seperti misal:
*         Instruksi sebaiknya singkat, tepat dan dipasangkan dengan visualisasi; mengingat bahwa anak cenderung sulit memahami pesan-pesan komunikasi (misal: kata-kata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh)
*         Anak cenderung mengalami kesulitan memproses berbagai bentuk informasi yang disampaikan secara auditori apalagi bila suara latar belakang termasuk bising. Ia perlu waktu untuk menterjemahkan dan berespons terhadap instruksi, terutama bila ada tuntutan transisi atau gerakan fisik (misal: instruksi beberapa tahap).
*         Anak mungkin mengalami kesulitan menggunakan beberapa modalitas sekaligus pada proses belajar mengajar (misal: menatap, mendengarkan, menulis). Ia mungkin perlu guru pendamping yang membantunya memutuskan untuk menggunakan satu modalitas dalam presentasi tugas baru atau sulit. (misal: lihat, lalu dengarkan, lalu tulis).
*         Anak tidak selalu sadar bahwa instruksi dalam kelompok ditujukan kepadanya. Karena itu, instruksi yang disampaikan secara kelompok, perlu diulang secara individual kepada anak tersebut bilamana diperlukan. Instruksi ini tidak diberikan oleh guru pendamping, tetapi oleh guru kelas.
*         Anak mungkin bisa terdistraksi setiapkali guru menggunakan penjelasan detil. Karena itu, sebaiknya gunakan isyarat tangan untuk membantu anak.

2.       Pemahaman
Biasanya anak mengalami kesulitan saat berhadapan dengan tugas yang berciri sebagai berikut:
-       Bermuatan bahasa (pemahaman dan pengungkapan)
-       Abstrak
-       Banyak tahapan-nya
-       Tidak jelas ujung pangkalnya
-       Mengandung banyak alternatif solusi
-       Tertulis
-       Cepat penyajiannya

Dalam meningkatkan pemahaman, cara yang disarankan adalah tidak sekedar memberitahu ia apa yang harus ia lakukan (tell=verbal directions), tetapi juga memberi contoh (show=modelling), dan mengarahkan (guide=physical guidance) hingga anak mengerti apa yang diharapkan darinya (Baker & Brightman, 1997).


a.  Instruksi verbal  (tell = verbal directions) : 
-    hanya diberikan saat anak memperhatikan
-    sebaiknya singkat, tepat guna, lugas
-    menggunakan kata-kata yang dipahami anak
b.    Contoh    (show = modelling) :
-   demonstrasikan apa yang Anda maksud dengan instruksi verbal tadi
-   efektif bila dilakukan dengan lambat dan berlebihan
-   kurangi porsi sedikit demi sedikit, sejalan dengan penguasaan anak
c.     Pengarahan    (guide = physical guidance):
-    sesudah memberi tahu dan mendemonstrasikan, arahkan tangan anak secara fisik
-    tunjukkan bagaimana melakukanya
-    mulanya, ANDA yang mengerjakan semua hal, tetapi bertahap kurangi peran Anda dalam pengarahan sehingga anak sedikit demi sedikit mengerjakannya sendiri

Mengingat bahwa anak ASD memiliki gaya belajar yang khas, ada baiknya guru mempertimbangkan ciri khas tersebut.
Anak ASD sebagian besar memiliki gaya belajar ‘rote learner’, ‘visual learner’ dan ‘hands-on learner’. Berarti, sebaiknya guru menggunakan sebanyak mungkin pengalaman dan visualisasi untuk membuat berbagai hal yang sulit dicerna anak ASD (terutama konsep verbal dan abstrak) menjadi lebih konkrit dan nyata bagi mereka.
Peran ‘shadower’ disini sangat penting, karena mereka dapat membantu guru membuat berbagai hal menjadi nyata bagi anak ASD. Tidak mungkin membebankan tugas kepada guru yang kadang hanya sendirian di kelas berisi sedikitnya 20 anak. 
Sebaiknya anak juga dihadapkan pada informasi dan aktifitas yang sama secara berulang-ulang, untuk memastikan pemahaman karena biasanya:
*   Anak sering panik-cemas-bingung menghadapi tugas/materi/situasi dan orang baru. Karena itu mereka biasanya menghindari situasi yang tidak mereka kenal dan pada akhirnya, tidak bisa mengerti instruksi yang diberikan.
*   Anak sulit memusatkan perhatian pada ciri suatu tugas pada saat pertama kali diberikan. Akibatnya ia belum sampai bisa memiliki strategi tertentu pada saat tugas ditampilkan untuk kedua kalinya.
*   Anak makin terpacu mempelajari hal baru yang ditampilkan beberapa kali secara konsisten dalam bentuk yang sama.
*   Sering anak tidak bisa belajar di kelas secara efektif, lebih karena situasi kelas dan bukan karena ketidak mampuan anak.

Ada beberapa teknik pengajaran yang dapat digunakan untuk membantu anak belajar ketrampilan baru:
~      Beritahu ‘perilaku yang diharapkan’ menggunakan alat bantu visual
~      Pastikan ‘perilaku yang diharapkan’ tersebut dirasakan berguna dan bermakna ketika ditunjukkan kepada anak
~      Hindari menampilkan ‘harapan’ dalam gaya yang tidak jelas
~      Peragakan bagaimana perilaku tersebut seharusnya
~      Berikan bantuan untuk mengarahkan perhatian anak pada detil yang relevan
~      Gunakan penguat untuk memotivasi anak menggunakan ketrampilan baru tersebut
~      Bila perlu, beri penguat pada langkah-langkah kecil menuju perilaku baru
~      Beri penguat pula untuk usaha anak, agar ia bersemangat mencoba melakukan perilaku tersebut

Yang pasti, anak lebih mudah paham dan lama dapat mengingat materi pelajaran tertentu bila sejak awal dibuat bermakna dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Karena itu, sebaiknya materi yang diajarkan juga sesuatu yang ada gunanya (fungsional) dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (aplikatif).

3.       Interaksi
Ada tiga jenis perilaku sosial yang mencirikan anak ASD (Wing & Gould dalam Wolfberg, 1999):
  Aloof                              - bersikap menjauh/menyendiri
      Anak-anak ini tampak sangat pendiam dan suka menyendiri, serta tidak berrespons terhadap isyarat sosial atau ajakan untuk bercakap dari orang lain. Kemampuan anak untuk ‘joint attention’ (memperhatikan sesuatu bersama orang lain) tidak berkembang, dan biasanya hanya mendekati orang lain untuk memenuhi keinginan mereka. Orang lain bagi mereka bukanlah makhluk sosial, tetapi lebih sebagai ‘alat’ untuk mendapatkan benda yang diinginkan.
  Passive                           - bersikap pasif
Anak-anak ini tampak tidak perduli dengan orang lain, tapi secara umum masih dapat diarahkan untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Mereka cukup patuh dan masih mengikuti ajakan orang lain untuk berinteraksi. Sama seperti anak-anak yang ‘aloof’, anak-anak yang ‘passive’ juga tidak terlalu dapat memperhatikan sesuatu bersama orang lain. Mereka juga kurang dapat mengungkapkan kehendaknya melalui ekspresi wajah dan isyarat tubuh, dan sebaliknya juga sulit memahami isyarat tubuh orang lain.     
  Active and Odd            - bersikap aktif tetapi ‘aneh’
Anak-anak ini senang berada bersama orang lain, tapi terutama dengan orang dewasa. Mereka mendekati orang lain untuk berinteraksi, tetapi caranya agak ‘tidak biasa’. Misalnya, mereka mendatangi seorang  yang tidak mereka kenal dan lalu mereka sentuh. Mereka juga mungkin berusaha bercakap-cakap dengan seseorang, tapi sayangnya  masih belum berkelanjutan, karena mereka cenderung terpaku pada minat tertentu yang kurang disukai orang lain. Sama dengan anak-anak ‘aloof’ dan ‘passive’, mereka juga kurang memiliki kemampuan untuk ‘membaca’ isyarat sosial yang penting untuk berinteraksi secara efektif.

Selain tiga hal tersebut, anak-anak ASD mengalami kesulitan memahami bahwa sesuatu bisa dilihat dari sudut pandang orang lain (Baron-Cohen et al, 1985). Tanpa kemampuan tersebut, mereka sulit mengembangkan kemampuan berinteraksi dan bergaul; karena mereka cenderung melihat berbagai hal dari sudut pandangnya sendiri (=egosentris).
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa anak-anak ASD memang sulit berinteraksi. Mereka tidak paham bagaimana menghadapi lingkungan, berinteraksi dengan orang lain, dan karena itu cenderung tidak memiliki banyak teman.

Untuk membantu anak-anak ASD berinteraksi di sekolah, Wolfberg (1999) mengusulkan metode ‘Integrated Playgroup Settings’ dimana anak-anak ASD (pemain pemula) – dengan pengarahan orang dewasa (pengarah bermain) -- berpartisipasi dalam kegiatan bermain dengan teman sebaya yang secara sosial lebih mahir (pemain mahir). Tujuan IPS ini adalah untuk merangsang kegiatan bermain yang timbal balik dan sama-sama disukai anak-anak, sambil mengembangkan kemampuan bermain dan perbendaharaan kegiatan bermain si pemain pemula. Dalam metode ini, teknik mengamati dan menganalisa kegiatan bermain dijabarkan, juga bagaimana mengarahkan partisipasi dalam bermain secara kelompok, dan merancang lingkungan yang mendukung terjadinya kegiatan bermain yang menyenangkan.

Sebaiknya, guru yang berhubungan dengan anak mempertahankan sikap/gaya interaksi yang konsisten dan tidak berubah-ubah:
»   Anak akan bingung bila ia didekati dengan gaya yang berbeda-beda oleh guru yang bekerja bersamanya. Penting untuk menggunakan gaya, intensitas, kecepatan dan kosakata yang kurang lebih sama, terutama pada awal penyesuaian di kelas.
»   Bila anak bingung, anak biasanya akan ‘mencoba’ memakai serangkaian perilaku interaksi yang belum tentu pantas menurut ukuran masyarakat. Pada keadaan seperti ini, bila perilaku yang cenderung kurang pantas ini mendapatkan perhatian, maka justru perilaku tersebut akan dipertahankannya.
»   Anak tidak dapat bekerja efektif di kelas bila ia tidak paham apa yang diharapkan dari dirinya.
»   Bila anak akan bekerja bersama dengan beberapa guru pada satu kesempatan, sebaiknya dipastikan bahwa mereka semua menggunakan gaya dan kosakata yang sama sehingga anak tidak bingung.

4.       Struktur lingkungan
Keadaan lingkungan yang dapat diramalkan oleh anak, membantu anak untuk beradaptasi dengan tuntutan tugas:
»   Anak berfungsi dengan baik bila ia dihadapkan pada rutinitas yang dapat ia prediksi, dan juga pada tuntutan penyelesaian tugas yang jelas. Kejelasan ini mencegah anak menciptakan strategi yang justru tidak tepat.
»   Anak diuntungkan bila ada struktur di lingkungan, tugas, interaksi dan transisi. Misal: memastikan lingkungan rapi bebas barang tak terpakai, menggunakan sistim box atau map untuk menyimpan materi penting sesuai kategori, memastikan ada awal dan akhir yang jelas pada setiap tugas, dsb.
»   Anak sulit memahami konsep-konsep abstrak tak jelas seperti ‘mulai’, ‘selesai’, ‘cepat’, ‘yang bagus’, atau ‘selesaikan nanti’. Sebaiknya semua guru membicarakan perilaku dan kejadian dalam istilah yang jelas dan tepat guna, seperti “duduk di lantai dengan baik” bisa diubah menjadi “duduk di lantai, kaki dilipat, tangan dilipat”. Atau, istilah “kerjakan” diubah menjadi “ambil pinsil, lihat nomer 1, lingkari yang benar”.
»   Kata-kata yang bermakna abstrak, perlu waktu melatihkannya. Tugas guru pendamping atau terapis rumah atau orang tua untuk melatih makna kata sambil memasangkan dengan gerakan/kegiatan/benda sesungguhnya. Begitu anak paham makna tersebut, guru dapat melatih menggunakan visualisasi/kartu sehingga anak dapat mengaplikasi-kan konsep tersebut dalam konteks sesungguhnya tanpa terlalu banyak penjelasan lagi.

5.       Perilaku
Umumnya perilaku diteliti karena alasan “bermasalah” (Linda Hodgdon, 1999), yaitu  bila  :
-    anak tidak berperilaku sesuai dengan lingkungan atau situasi saat itu
-    perilaku anak tidak seperti yang biasa dilakukan teman sebaya mereka
-    mereka tidak melakukan seperti yang kita inginkan: apa-kapan-bagaimana

Batasan diatas, tercakup dalam suatu kontinuum (rentang) yang bervariasi mulai dari kebiasaan yang mengganggu, perilaku yang menimbulkan masalah, perilaku yang menghambat rutinitas sehari-hari, yang menghambat proses belajar, hingga perilaku yang dapat sebabkan celaka pada diri sendiri  atau orang lain.
Dengan demikian, batasan “masalah perilaku” sangat bervariasi, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Misal: perilaku mengeluarkan suara saat sedang belajar, dapat dianggap sekedar sebagai kebiasaan mengganggu, kebiasaan yang SANGAT mengganggu atau perilaku yang meng-hambat proses belajar… tergantung frekuensi, periode dan intensitas perilaku tersebut dan dimana perilaku tersebut terjadi.
Pada anak ASD, masalah perilaku dapat digolongkan dalam 2 kelompok utama (Schopler, 1995): 
-    perilaku tidak patuh, dimana anak tidak mau mengikuti pengarahan atau permintaan orang tua/guru (dan tokoh otoritas lain)
-    perilaku mengganggu/menyerang,  biasanya dalam bentuk tantrum (mengamuk), berteriak, menendang, memukul, menggigit dsb.

Berhubung perilaku bisa dilihat secara subyektif (tergantung sudut pandang pengamat), sudah seharusnya kita berusaha menjadikannya lebih obyektif. Obyektifitas dapat diusahakan melalui pengamatan intensif, pencatatan, analisa dan interpretasi. Setidaknya, obyektifitas dapat diusahakan dengan berpikir bahwa setiap masalah perilaku didasari adanya keterbatasan/ hambatan yang menjadi penyebab. (Schopler, 1995)
                                                                                  MASALAH PERILAKU
 
                                                                                Berbagai hambatan/keterbatasan
                                                                                 yang menjadi dasar terjadinya perilaku 

Kesadaran bahwa masalah perilaku didasari adanya keterbatasan atau hambatan, sangat mempengaruhi lingkungan ketika mengupayakan intervensi/penanganan atas berbagai masalah perilaku. Kita selalu harus melihat perilaku sebagai sebuah rangkaian, ada yang menyebabkan (antecedent) dan ada yang mengikuti terjadinya perilaku tersebut (consequence) (Maurice, 1996).

Misal: anak yang berguling-guling ketika spreinya diganti. Penanganan akan sangat berbeda bila penyebabnya ketidak-patuhan (incompliance) atau perasaan tidak tahan terhadap tekstur sprei sesudah dicuci (sensory). Anak yang berguling-guling karena tidak tahan terhadap tekstur sprei, tentu akan sangat tertekan bila diberi teguran atau diperingatkan untuk berperilaku baik (consequence). Ia berguling-guling karena tidak tahan terhadap tekstur, tapi malah ditegur karena tidak bersikap baik. Perasaan tertekan tadi, tentu saja mendorongnya berperilaku lebih buruk lagi. Karena akar permasalahannya adalah masalah sensoris, seharusnya ia dibantu mengatasi masalah sensorisnya. Sebaliknya akan terjadi, bila sesudah anak berguling-guling, ia malah mendapat hadiah. Bisa saja ia berpikir bahwa dengan berguling-guling, ia akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Ia akan mengulanginya lagi, terlepas dari persoalan apakah masalah sensorisnya terjawabkan atau tidak.

Jadi, penting sekali melakukan analisa (A-B-C) dan mencoba mencari akar permasalahan mengapa suatu perilaku terjadi; sebelum dapat menetapkan akan melakukan apa.

Bila sudah diketahui akar permasalahannya, ada banyak hal yang dapat dilakukan (Fouse & Wheeler, 1997) yakni Punishment, Negative Consequence, Ignorance, Differential Reinforcement, Time Out, Response Cost, Environment Modification.

Dari berbagai cara tersebut di atas, yang penting diingat oleh guru adalah untuk tidak memberikan perhatian dalam bentuk apapun kepada anak saat ia berperilaku negatif (perhatian bisa berupa bujukan, luapan amarah, omelan, tatapan, kata-kata dsb). Biarkan anak meluapkan amarah (bila sebabnya adalah frustrasi), dan baru lakukan intervensi (berupa instruksi tugas yang ia kuasai) begitu ia reda amarahnya. Kadang untuk anak tertentu perlu disediakan ruang terpisah/pojok tertentu bagi dia untuk melampiaskan amarahnya tanpa melukai diri sendiri atau orang lain. Hati-hati, kadang anak autisme senang diberi ‘time-out’ karena bisa melarikan diri masuk dalam dunianya.

Sebelum dapat menggunakan satu atau beberapa kombinasi teknik tersebut di atas, penting sekali bagi guru untuk mengamati beberapa hal berikut:
»   Biasanya perilaku negatif anak di kelas, berkaitan dengan perasaan tidak nyaman yang dialaminya, atau merupakan respons terhadap kesulitannya. Untuk dapat melakukan perubahan terhadap perilaku negatif tersebut, guru atau guru pendamping HARUS melakukan analisa dan melakukan observasi untuk menyimpulkan jawaban atas “kapan”, “dimana”, dan “siapa” yang mewarnai terjadinya perilaku negatif tersebut.
»   Strategi efektif baru bisa dikembangkan sesudah dipahami ‘alasan’ kenapa perilaku negatif tersebut digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan/keadaan tersebut (apakah masalah komunikasi, tidak dapat memahami isyarat lingkungan, terlalu banyak stimulasi, frustrasi akan materi dsb)
»   Kalau anak terus menerus menggunakan perilaku negatif untuk beradaptasi dengan keadaan, bisa saja ia tidak tahu cara lain. Penting mengajarkan cara positif yang dapat ia pakai beradaptasi dengan keadaan yang kurang nyaman tersebut.
»   Pengetahuan atas kelebihan/kekurangan dan kebutuhan anak tersebut yang khas autisme (biasanya berkaitan dengan masalah komunikasi, interaksi dan adaptasi) akan sangat membantu guru/pendamping memahami perilaku anak.

D.    Bersikap fleksibel, kreatif dan terbuka dalam proses belajar mengajar
Anak ASD memiliki ciri khas yang berbeda dengan anak biasa, karena itu sikap pengajaran kita sebaiknya juga tidak sama dengan anak biasa, bila kita mengharapkan hasil optimal.

Tabel berikut berusaha memperlihatkan, bahwa sikap kita sebagai guru perlu dimodifikasi sesuai keadaan anak, untuk mendapatkan pemahaman maksimal dan mengarah pada kemandirian optimal.





JENIS BANTUAN

DESKRIPSI
KETERLIBATAN ORANG LAIN >< KEMANDIRIAN

Tangan-di atas-tangan

Tangan guru pendamping diletakkan di atas tangan anak untuk memungkinkan anak selesaikan tugas.

Keterlibatan sangat tinggi dari guru/guru pendamping

Fisik

Kontak fisik digunakan untuk arahkan anak memusatkan perhatian pada sesuatu atau menyelesaikan tugas

Verbal

Penjelasan atau pengarahan dipakai untuk memulai /mempertahankan penyelesaian tugas.


Visual

Bantuan visual konkrit dipakai untuk bantu anak memulai tugas, selesaikan tugas, atau berpindah ke tugas berikutnya.

Isyarat

Gerakan digunakan untuk pertegas makna informasi verbal dan memusatkan perhatian anak pada tugas.

Peragaan

Guru (atau guru pendamping) mencontohkan penyelesaian tugas dan anak belajar melalui observasi /pengamatan saja.


Sangat mandiri.

Guru pendamping penting sekali memahami bahwa tugas mereka membantu anak sejauh dibutuhkan. Jadi, lambat laun bantuan tersebut harus dikurangi agar anak dapat mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri.

Kiat sebagai guru pendamping ( Bitsika, 2002):
*         Mulai dari bantuan paling sedikit, siapa tahu anak bisa.
*         Tempatkan diri di luar garis pandang anak (di samping atau di belakang).
*         Nilai sendiri bagaimana Anda memberikan bantuan tersebut. Bila mungkin, minta orang lain melakukan pengamatan cermat terhadap kegiatan Anda dalam mendampingi anak, lalu minta orang tersebut memberikan masukan.
*         Gunakan segala upaya untuk memfokuskan anak pada lingkungan belajar, guru dan tugas.
*         Tetapkan peran Anda sebagai ‘guru pendamping’ atau ‘asisten guru’, jadi sedapat mungkin peran dalam proses belajar mengajar dipegang oleh guru kelas.
*         Alat bantu dalam belajar, jangan sampai menjadi pusat perhatian anak. Anak harus dilatih untuk memusatkan perhatian pada instruksi dan materi. Alat bantu bersifat sebagai ‘bantuan bila diperlukan’.
*         Anak jangan sampai melihat ‘bantuan dari guru pendamping’ sebagai hal terpenting dalam proses belajar mengajar, tetapi instruksi dan materi –lah yang terpenting.
*         Hindari keterlibatan maksimal dalam interaksi antara Anda dengan anak autisme yang Anda dampingi. Tugas Anda mendorong agar ia bisa berinteraksi dengan lingkungannya tanpa kehadiran Anda, jadi sedikit demi sedikit kurangi peran Anda.



PENUTUP:

Penting diingat oleh para orang tua adalah bahwa kondisi masing-masing anak sangat berbeda, sehingga modal awal dan hasil akhir setiap individu akan sangat tergantung pada banyak sekali faktor, antara lain: kuantitas dan kualitas gejala autisme pada anak, intensitas penanganan dini, tingkat intelegensi anak, kemampuan anak berkomunikasi, konsistensi pola asuh dalam keluarga, sikap sekolah dalam membantu anak, pengetahuan guru, dan sebagainya.

Bagi pihak sekolah, penting diperhatikan bahwa banyak langkah yang dapat dilakukan untuk membantu anak ASD berprestasi di lingkungan sekolah umum. Selain kesempatan, mereka juga memerlukan penanganan yang terpadu dan terfokus sesuai keadaan masing-masing anak.

Pihak keluarga tidak bisa hanya menuntut pihak sekolah untuk memberikan yang terbaik, karena tanpa kerja sama dari pihak keluarga, semua upaya memberikan kesempatan kepada anak menjadi mubazir dan tidak tepat sasaran. Sebaliknya pihak sekolah tidak dapat menyerahkan segala usaha kepada orang tua, karena bagaimanapun anak-anak ASD ini adalah bagian dari masa depan bangsa ini. Sebagai pendidik, sudah sewajarnya kita memberikan yang terbaik kepada anak didik kita. Sebagai pendidik, kita tidak boleh memilih murid.

Mendidik anak tidak bermasalah bisa dilakukan siapa saja, tetapi membantu anak bermasalah – khususnya anak ASD – untuk dapat mengatasi permasalahannya, memerlukan kemampuan yang luar biasa. Kreativitas, daya juang, kemampuan untuk bertahan, dan yang terpenting… keikhlasan untuk membantu anak ASD mendapatkan masa depan yang baik.

Anda menjadi guru yang luar biasa, bila memberikan upaya untuk membantu anak-anak ASD meningkatkan mutu kehidupan mereka.
  
To my one and only  Ikhsan Priatama Sulaiman and his friends. I love you just the way you are.   May God be with us, forever.. and ever.